Petak Umpet Berakhir Tangis!!!
Petak Umpet Berakhir Tangis
Matahari sudah condong ke barat ketika suara tawa anak-anak menggema di antara gang sempit kontrakan. Sore itu, mereka sepakat bermain petak umpet, permainan yang sudah tak asing lagi jadi teman masa kecil. Tapi siapa sangka, di balik keriangan dan semangat bersembunyi, tersimpan kisah yang akan mengubah pandangan tentang permainan itu selamanya.
Permainan yang seharusnya penuh tawa, justru berubah jadi petaka—meninggalkan jejak luka, rasa bersalah, dan tangis yang tak mudah dilupakan.
Hari sudah petang, saat segerombolan anak kecil berencana untuk bermain petak umpet. Kala itu, Lawa diajak beberapa temannya untuk bermain, padahal waktu sudah hampir magrib. Permainan dimulai dengan hompimpa untuk menentukan siapa yang menjaga benteng. Di luar kendali, Lawa justru terpilih untuk berjaga dan harus merelakan teman-temannya bersembunyi darinya.
"Oke, aku hitung dari satu sampai sepuluh. Kalau sampai hitungan kesepuluh kalian masih belum bersembunyi, berarti kalian yang gantian jaga benteng!" seru Lawa, lalu membalikkan badan ke arah dinding rumah warga yang ditetapkan sebagai benteng.
Teman-temannya langsung berpencar, mencari tempat persembunyian terbaik.
"Sembilan... Sepuluh!"
Lawa mulai mencari. Suasana kompleks pedesaan masih cukup ramai, namun gelap perlahan mulai menyelimuti.
Ia menemukan Suci, tetangganya, yang bersembunyi di balik gerobak sayur.
"Huh, besok aku nggak bakal sembunyi di sana lagi!" gerutu Suci.
Lawa hanya tertawa.
Tak lama kemudian, Lawa menemukan Tepu, teman sekelas sekaligus satu gengnya di sekolah. Tepu bersembunyi di celah sempit antar dinding kontrakan. Karena tempatnya gelap, Lawa sempat mengira ia melihat sosok makhluk gaib. Tepu kesal, dan tanpa basa-basi menepuk kepala Lawa.
"Sembarangan ngira aku setan!"
Mereka saling mencibir, lalu Lawa lanjut mencari yang lain.
Langit kian gelap. Teman-temannya yang belum ketahuan entah sembunyi di mana. Mungkin pulang makan, nonton TV, atau curang sembunyi di tempat mustahil. Tapi Lawa tak menyerah, hingga akhirnya ia melihat papan besar di ujung gang sempit yang tampak bergerak.
"Ayo, keluar! Aku sudah tahu kamu di sana!"
Namun, sosok di balik papan itu hanya menggoyang-goyangkan papan, seolah mengejek. Lawa tak tahu siapa yang bersembunyi. Ia bimbang—kalau masuk gang, benteng bisa dibobol. Kalau menebak nama, bisa salah dan jadi penjaga lagi.
Kesal, Lawa mengancam,
"Hey, ayo keluar! Atau kulempar kamu dengan batu!"
Tapi si sosok makin menjadi. Tanpa pikir panjang, Lawa benar-benar melempar batu besar ke arah papan.
"Kenak kau!"
Papan jatuh. Di bawah cahaya lampu kekuningan, muncul sosok Dana, adik kelas Lawa yang duduk di kelas empat. Ia berjalan pelan, memegangi kepalanya. Darah segar mengalir di wajahnya.
Lawa panik. Ia tahu itu akibat ulahnya. Tanpa pikir panjang, ia berlari pulang, masuk ke kontrakan, menyelinap ke kamar, dan bersembunyi di balik selimut. Ibunya, Karni, sempat heran melihat tingkah Lawa.
Tak lama berselang, ibu Dana datang mengetuk. Ia langsung menceritakan apa yang terjadi. Karni, yang mendengar cerita itu, naik pitam. Ia menyarankan Dana segera dibawa ke klinik, dan berjanji akan menanggung biaya pengobatan.
Setelah ibunya Dana pergi, Karni masuk ke kamar membawa sebuah dengklek kayu. Tanpa banyak bicara, ia memukul Lawa dengan benda itu sebagai bentuk hukuman.
Malam itu, bukan hanya Dana yang terluka. Tapi juga hati seorang anak kecil yang harus belajar arti tanggung jawab dengan cara yang sangat keras.
Penutup
Lawa tahu, apa yang terjadi malam itu akan terus membekas dalam ingatannya. Bukan hanya karena darah yang mengalir dari kepala Dana, tapi karena rasa bersalah yang tak bisa dia usir, meski telah bersembunyi di balik selimut. Malam itu, petak umpet tak lagi menjadi permainan biasa. Ia menjadi pelajaran paling pahit yang tak diajarkan di sekolah—tentang amarah, penyesalan, dan pentingnya berpikir sebelum bertindak.
Kadang, hal yang kita anggap sepele bisa berakhir dengan luka. Dan kadang pula, tangis yang datang di akhir permainan... jauh lebih nyata daripada sekadar kalah dalam permainan.
Komentar
Posting Komentar